BAB
XIII
BIANG
KEGAGALAN NEGARA
PADA
ZAMAN SEKARANG
A. Undian Akal-akalan di Zimbabwe
Undian
akal-akalan yang diadakan oleh Zimbabwe Banking Operation (Zimbank) dimana
sebagian sahamnya dimiliki oleh pemerintah yang kemudian memenangkan Robert
Mugabepada tahun 2000 senilai Z$100.000 hanyalah sebagian kecil dari bobrok dan
korupnya rezim tersebut. Robert Mugabe merupakan seorang Presiden yang
memerintah Zimbabwe dengan gaya kepemimpinan yang keji dan otoriter sejak tahun
1980. Padahal disisi lain dia telah menaikkan gajinya sendiri beserta para
menteri dikabinetnya sebanyak dua kali lipat. Kenyataan bahwa Mugabe dapat
merekayasa undian berhadiah di Zimbank menunjujkkan betapa besar kekuasaannya
dalam berbagai urusan di dalam negeri.
Salah
satu faktor umum yang menyebabkan kegagalan sejumlah negara ialah karena mereka
memiliki institusi politik-ekonomi yang berciri ekstraktif. Akar dari timbulnya
berbagai institusi ekstraktif di Zimbabwe tidak lain adalah karena adanya
pengaruh dari pemerintahan kolonial yang membekas kemudian diikuti dan
diperparah oleh penguasa-penguasa setelahnya.
Negara
Zimbabwe dibawah kekuasaan Mugabe mengambarkan kondisi sosial-ekonomi yang
harus ditanggung negara sebagai akibat dari maraknya institusi ekstraktif. Hal
ini mengakibatkan merosotnya pendapatan perkapita rakyat Zimbabwe pada tahun
2008 sebesar 50% dari pendapatan
perkapita mereka pada awal kemerdekaan tahun 1980. Pemerintahpun mulai kolaps
dan tidak lagi mampu menyelenggarakan layanan publik. Selama periode 2008-2009,
karena buruknya pelayanan kesehatan sebanyak 4.293 masyarakat Zimbabwe menjadi
korban dari wabah kolera yang sedang beredar di seluruh negeri. Pada saat yang
bersamaan angka pengangguran juga melonjak tinggi hingga mencapai 94%.
Institusi
politik ekstraktif melindungi institusi ekstraktif dengan mengukuhkan kekuasaan
berbagai pihak yang diuntungkan oleh situasi ini. Meskipun ragamnya bervariasi,
institusi politik-ekonomi ekstraktif selalu menjadi penyebab utama kegagalan
suatu negara. Pada beberapa kasus, misalnya di Argentina, Kolombia dan Mesir
kegagalan negara ini terlihat dari lemahnya aktivitas perekonomian, karena para
politisi yang rakus sangat gemar menggarong kekayaan negara dan rakyat, serta
menyabotase segala bentuk aktivitas ekonomi independent yang bisa mengancam
kekuasaan para elite. Adapun dampak yang terjadi akibat hal ini ialah stagnasi
ekonomi, perang saudara, kemelaratan, tingginya angka pengangguran, hingga
menyebarnya berbagai wabah penyakit akibat dari rendah simtem pelayanan publik
terkhusus dibidang kesehatan.
B. Kisah Pilu Anak-anak Sierra Leone
Sierra
Leone yang saat itu dipimpin oleh Siaka Stevens yang mengusung partai APC (All People’s Congress) kondisinya tidak
jauh berbeda dengan Zimbabwe, baik keadaan ekonomi maupun politiknya. Setelah
Siaka Stevens mengidap penyakit kanker yang cukup parah, dia menutus Joseph
Momoh untuk menggantikan posisinya. Namun Joseph Momoh juga memakan harta
negara dan rakyat dengan sangat rakus pula. Akibatnya, fasilitas publik seperti
jalan raya dan gedung-gedung sekolah rusak berat. Para menterinya juga ikut
menjual sarana publik, seperti alat pemancar telivisi sehingga stasiun televisi
nasional tidak lagi beroperasi. Lagi-lagi kehancuran pemerintahan ini tidak
lain merupakan dampak dari lingkaran setan yang dipicu oleh berbagai institusi
ekstraktif dari masa pemerintahan Siaka Stevens .
Dikubuh
lain ada sekelompok orang bersenjata yang dipimpin oleh Foday Sankoh dan
dibantu oleh Charles Taylor yang berasal dari Liberia. Dalam menginvasi Sierra
Leone, Sankoh mendapat banyak bantuan pasukan dari anggota Taylor. Mereka ini
tergabung dalam kelompok RUF (Revolutionary
United Front) yang bertekad untuk menggulingkan pemerintahan APC yang keji
dan korup.
Revolusi
ini dipandang dan disambut positif oleh masyarakat Sierra Leone karena
kepedihan serta penderitaan yang mereka alami telah membuat hidup mereka sangat
sengsara. Namun tak lama kemudian situasi mulai berubah dengan cepat dan tak
terkendali, itikad baik dari RUF justru kembali menjerumuskan negeri Sierra
Leone ke dalam situasi yang sangat parah. Mereka menghabisi tokoh-tokoh
intelektual serta mengeksekusi orang-orang yang menentang tindak kekerasan yang
mereka lakukan.
Pada
awalnya orang-orang bergabung secara sukarela dengan RUF. Namun tidak lama
setelah itu mereka merekrut anggota baru dengan cara paksa, bahkan mereka juga
menangkap anak-anak kecil untuk dijadikan pasukannya dan ini bukanlah hal yang
baru di Sierra Leone. Semua pihak bahkan militer sekalipun pernah melakukan hal
tersebut. Perang saudara yang mulanya dipandang sebagai perjuangan untuk
membangun kehidupan sosial yang lebih baik, pada akhirnya menjadi perang yang
melibatkan anak-anak. Mereka juga tidak hanya menyekap dan memeras rakyat sipil
namun juga membantai masyarakat biasa, melakukan pelanggaran HAM berat,
melakukan pemerkosaan masal hingga memotong tangan atau telinga korban yang
tidak berdosa.
Sierra
Leone sungguh merupakan negara yang sangat menyedihkan dan kacau tanpa tatanan
hukum. Tidak hanya kelompok RUF yang melakukan kekerasan, pembunuhan masal dan
kerja paksa, namun pemerintah juga melakukan hal yang demikian. Rakyat sampai
tidak dapat membedakan mana militer negara dan mana pemberontak. Menjelang
berakhirnya perang saudara pada tahun 2001, diperkirakan delapan puluh ribu
rakyat tak berdosa mati sia-sia, dan negara tersebebut hancur tinggal puing.
Jalan raya, rumah, dan semua bangunan hancur rata dengan tanah.
Penindasan
akan menyulut konflik, tidak jauh berbeda dengan konflik-konflik yang terjadi
disejumlah institusi superekstraktif dari peradaban Maya seribu tahun silam.
Konflik juga menjadi cikal bakal gagalnya suatu negara. Dan lagi-lagi ini juga
disebabkan oleh berkuasanya institusi poliik-ekonomi yang merajalela selama
berpuluh-puluh tahun.
C. Jadi, Siapakah Pemerintah itu?
Dalam
lima dekade terakhir, para pengamat politik dan pemerintahan menilai Kolombia
sebagai negara yang demokratis. Kolombia juga sempat mengadakan pemilu secara
rutin. Namun walaupun demikian, ternyata negara ini tidak memiliki institusi
yang inklusif. Sejarah bangsa ini dikotori oleh berbagai tindak penindasan dan
pelanggaran kemerdekaan warga, eksekusi tanpa proses hukum, berbagai aksi
kekerasan dan serangkaian perang saudara.
Merebaknya
perang saudara ini mengakibatkan munculnya sejumlah kelompok pemberontak yang
sebagian besar merupakan kaum revolusioner komunis. Kelompok-kelompok tersebut
menebar teror penculikan dan pembunuhan. Jika mereka ingin selamat dari teror
tersebut maka mereka harus membayar uang vaksin atau uang keamanan setiap
bulannya.
Namun
tidak semua gerombolan bersenjata ini adalah komunis. Jika gerombolan komunis
ini adalah sayap kiri, maka muncullah gerombolan sayap kanan untuk memberantas
mereka. Gerombolan ini dipelopori oleh tiga bersaudara yang ayahnya diculik
kemudian dibunuh oleh gerombolan sayap kiri. Karena banyaknya rakyat yang
senasib dengan mereka, menyebabkan gerombolan ini berkembang dengan sangat
pesat hingga berhasil membentuk organisasi nasional. Mereka tidak hanya
menumpas para komunis namun juga memeras. Menculik dan membunuh warga sipil.
Organisasi
ini berkembang dan menjalar ke seluruh pelosok negeri. Karena kekuatan dan
pengaruhnya semakin berkembang, mereka mengambil langkah strategis dengan
terjun ke panggug politik. Mereka melakukan berbagai kecurangan dan kekerasan
untuk memenangkan partai yang sepemahaman serta mendukung mereka. Mereka juga
mengambil alih pemerintahan dan beberapa fungsinya, namun pajak yang mereka
ambil dari masyarakat bukanlah pajak yang wajar namun lebih tepatnya adalah
sebuah pemerasan. Tidak hanya memerangi dan memberantas para komunis, namun
mereka juga merampok harta negara dan rakyat baik di kota maupun di desa.
Kolombia
bukanlah contoh negara gagal yang akan segera hancur. Hanya saja negara ini
tidak memiliki sentralisasi pemerintahan dan tidak mampu menjaga kedaulatan
wilayahnya. Rasa aman dan berbagai kenyamanan pelayana publik hanya dirasakan
di kota-kota besar, tidak dengan wilayah-wilayah lain yang terpencil dan
terbelakang. Institusi ekonomi di beberapa bagian negara ini berfungsi dengan
cukup baik, terdapat SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan
berwirausaha. Namun institusi ekonomi ekstraktif masih sangat dominan di negara
ini.
Ketidakpastian
hukum dan lemahnya perlindungan terhadap kekayaan rakyat masih menjadi masalah
yang paling sering ditemui di Kolombia. Hal ini disebabkan oleh lemahnya
kontrol pemerintah pusat terhadap kedaulatan wilayahnya serta rendahnya
sentralisasi pemerintah. Semua ini terjadi sebagai cerminan dari sebuah
dinamika yang menunjukkan adanya lingkaran setan, institusi politik tidak
mendorong politisi untuk berjuang demi menjamin pelayanan publik, penegakan
hukum, serta ketertiban disebagian besar wilayah kedaulatan rakyat. Terlebih
lagi institusi politik tidak pernah menghalangi atau mencegah kongkalikong yamg
terjadi antara politisi dengan kelompok sayap kanan (paramiliter) dan berbagai
kelompok preman lainnya.
D. Skandal El Corralito di Argentina
Argentina
tengah dicekam krisis ekonomi pada pengujung tahun 2001. Dalam kurun waktu tiga
tahun, pendapatan negara turun drastis sedangkan angka pengangguran melonjak
luar biasa serta terbelit utang luar negeri dalam jumlah masif. Sejak tahun
1989 pemerintahan Presiden Carlos Menem sudah mengupayakan berbagai kebijakan
untuk mengatasi permasalahan inflasi dan menstabilkan perekonomian, namun
solusinya hanya bersifat sementara dan terkesan tambal sulam.
Presiden
Medem menerapkan rezim kurs tetap yang mematok kurs satu peso Argentina sama
dengan satu dolar Amerika. Menurut Medem, dengan tidak adanya fluktuasi nilai
tukar mata uang Argentina maka masalah selesai. Pemerintah bahkan mendorong
rakyatnya untuk menabung uang dolar di Bank serta memperbolehkan mata uang
dolar dijadikan alat pembayaran di toko-toko besar di ibu kota Buenos Aires.
Selain itu penduduk juga bisa menarik dolar dari mesin-mesin ATM yang tersebar
di kota tersebut.
Kebijakan
tersebut ternyata tidak sepenuhnya dapat mengatasi masalah yang ada, justru
malah memiliki kelemahan yang sangat besar dan sama sekali tidak dapat
menstabilkan perekonomian. Kelemahan tersebut mengakibatkan harga komoditas
ekspor Argentina menjadi sangat mahal, sedangkan harga-harga barang impor
menjadi sangat terjangkau. Hal ini mengakibatkan tesemdatnya aktivitas ekspor
Argentina, sedangkan barang-barang impor membanjiri pasar dalam negeri, dan
satu-satunya cara untuk membelinya adalah dengan mengutang.
Melihat
situasi yang terjadi rakyat berbondong-bondong menyimban uangnya
dalam
bentuk dolar di bank. Hal ini didasari oleh kecemasan mereka terhadap
stabilitas nilai tukar peso, karena ketika pemerintah mendevaluasi peso maka
tabungan dolar mereka akan tetap aman. Namun pada saat itu pemerintah
membekukan semua rekening bank untuk jangka aktu sembilan puluh hari dan
penarikan tabungan dibatasi jumlahnya serta hanya boloh sekali dalam sepekan. Jumlah
uang yang boleh ditarik nasabah hanya sebesar 300 peso yang saat itu setara
dengan US$300. Dan ternyata yang diizinkan untuk menarik tabungan hanya nasabah
yang menabung dalam rekening peso. Sedangkan mereka yang menabung dalam bentuk
dolar tidak diizinkan, kecuali mereka bersedia untuk menukarnya dengan peso.
Masyarakat Argentina menyebut
situasi itu dengan El Corralito, yang
artinya kurang lebih pagar atau kurungan berpagar besi. Para deposan dan
penabung di bank bagaikan digiring ke kandang-kandang sempit seperti kawanan
sapi, dan tidak bisa bergerak sama sekali. Pada bulan Januari pemerintah resmi
mendevaluasi mata uang peso, nilai kurs peso diturunkan dari satu peso untuk
satu dolar, menjadi empat peso untuk satu dolar. Namun pemerintah secara
sepihak mengkonversi semua rekening dolar milik rakyatnya mejadi peso dengan
memberlakukan kurs lama satu dolar untuk satu peso. Tiga per empat dari
tabungan mereka digangsir oleh pemerintahnya sendiri.
Argentina pada kala itu menganut
rezim demokratis, akan tetapi sistem politik di negara itu tidaklah inklusif.
Institusi-instiusi ekstraktif pun sangat banyak ditemui dimana-mana. Begitu
juga juga politik yang tidak sehat, praktik korupsi, pemaksaan, penindasan
hingga pembunuhan bukan lagi hal yang tabuh negara tersebut.
Demokrasi yang tumbuh di Amerika
Latin secara prinsip bersebrangan dengan hegemoni elite politik dan dalam
retorika serta aksi-aksinya selalu berjuang mengikis hak istimewanya para
elite, serta menciptakan pemerataan kesempatan. Namun, institusi ekonomi dan
politiknya berakar pada rezim ekstraktif dan kondisi ini dipengaruhi oleh dua
faktor. Pertama, kesenjangan dan ketidakadilan yang berlangsung selama
berabad-abad di bawah cengkraman rezim ekstraktif memaksa para pemilih di era
demokrasi untuk mendukung para politis yang menawarkan beragam kebujakan yang
bersifat ekstrim. Kedua, lagi-lagi institusi ekstrkatif menyediakan panggung
politik gemerlap memesona sekaligus dipenuhi bias yang menguntungkan
orang-orang kuat.
E. Absolutisme Gaya Baru
Pada
tahun 2009 pemerintah Korea Utara memberlakukan kebijakan reformasi mata uang,
yang disebabkan oleh tingkat inflasi mata uang yang tidak terkendali.
Pemerintah Korea Utara menhapus dua angka nol dari mata uang mereka, seratus
won uang lama dihargai satu won uang baru. Semua warga negara diperintahkan
menukar mata uang lama mereka dengan mata uang baru dalam jangka waktu yang
sangat singkat, yakni dalam satu minggu. Rakyat juga dilarang menukar uang
mereka lebih dari 500.000 won. Uang seratus ribu won dihargai $40 di pasar
gelap. Cukup dengan satu gebrakan, pemerintah Korea Utara berhasil memangkas
kekayaan rakyat dalam jumlah yang sangat besar.
Untuk
memahami kondisi disejumlah negara termiskin dunia diakhir abad ke-20 kita
harus memahami paham absolutisme gaya baru, yakni komunis. Karl Marx
mencita-citakan sebuah sistem politik yang dapat menciptakan kemakmuran dalam
kondisi yang lebih manusiawa, tanpa adanya kesenjangan atau ketidakadilan.
Lenin dan partai komunis sangat terinspirasi oleh visi Marx, namun antara teori
dan praktiknya sangat bertolak belakang. Revolusi Bolshevik yang berkobar pada
tahun 1917 ternyata sangat berdarah-darah dan sama sekali tidak manusiawi.
Prinsip kesetaraan yang didengung-dengungkan ternyata hanyalah omongan belaka
sebab Lenin dan para pengikutnya malah menjelma menjadi kelompok elite yang
menempati hierarki tertinggi dalam partai Bolshevik.
Sistem
komunis pada awalnya memang bisa merangsang angka pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, namun lambat laun merosot dan mandek sama sekali. Dampak terparah yang
dipicu oleh kegagalan ekonomi komunis pernah dialami oleh rakyat China di bawah
kepemimpinan Mao, di Kamboja di bawah cengkraman rezim Khmer Merah, dan juga di
Korea Utara yang perekonomiannya kolaps dan menyebabkan ribuan rakyat mai
kelaparan.
Institusi
ekonomi komunis didukung oleh politik ekstraktif yang meletakkan semua
kekuasaan politik di tangan para elite partai, tanpa adanya mekanisme kontrol
atas penggunaan kekuasaan.
F. Hikayat Islam Karimov di Raja Kapas
Hampir
45 persen penerimaan pemerintah Uzbekistan berasal dari hasil ekspor kapas, dan
itulah sebabnya kenapa komoditas tersebut dianggap sebagai produk pertanian
terpenting sejak negara tersebut merdeka setelah melepaskan diri dari Uni
Soviet pada tahun 1991. Sebelum merdeka semua lahan pertanian mereka dikuasai
oleh rezim Uni Soviet dan setelah merdeka lahan pertanian tersebut
didistribusikan kepada warga. Namun bukan berarti mereka dapat mengelolah tanah
tersebut dengan bebas, Islam Karimov selaku presiden pertama sekaligus penguasa
tunggal membuat beberapa kebijakan yang harus dipatuhi oleh warga. Seperti
tanaman apa saja yang boleh ditanam dan harga jualnya.
Pemerintah
menerapkan taktik tanam paksa, dimana warga diwajibkan menanam kapas di 35
persen dari luas tanahnya. Namun harga kapas yang ditetapkan oleh pemerintah
sangatlah rendah jika dibandingkan dengan tingginya harga ekspor kapas pada
saat itu. Warga mulai merasa dirugikan dan tidak mau lagi merawat mesin pemanen
kapas yang disediakan oleh Karimov. Namun aksi tersebut justru memperburuk
keadaan dimasyarakat, Karimov mengggantikan tenaga mesin dengan tenaga
murid-muri sekolah dasar dengan upah yang sangat rendah. Murid-murid tersebut
tidak hanya bertugas memanen kapas, namun pada musim semi mereka juga
ditugaskan untuk mencangkul, menyiangi pohon kapas, dan mencangkok bibit pohon
kapas yang baru. Karimov bukannya mercendaskan anak bangsa tapi malah
memperbudak mereka.
Di
bawah rezim Karimov, Uzbekistan menjadi negara yang diterungku oleh berbagai
institusi politik-ekonomi superekstratif dan menjadi negara yang sangat miskin.
Diperkirakan sepertiga rakyatnya hidup dalam kemiskinan, dan rata-rata pendapan
perkapita tahunan mereka $1.000.
Dalam
banyak hal Uzbekistan terlihat seperti relik peninggalan zaman kuno yang terlupakan.
Negara itu tak berdaya menghadapi absolutisme sebuah keluarga penguasa yang
dikelilingi oleh kroni-kroni pendukungnya, dengan sistem perekonomian yang
mengandalkan beragam praktik kerja paksa yang memeras keringat anak-anak
harapan bangsa. Namun, Uzbekistan sebenarnya bukan relik dari masa lampau.
Negara ini adalah salah satu kepingan mozaik dari bangsa-bangsa yang dicekam
oleh institusi ekstraktif dan bernasib sama dengan beberapa negara eks Republik
Sosialis Soviet seperti Armenia, Azerbaijan, Kirgiztan, Tajikistan, dan
Turkmenistan, dan semua negara itu menyadarkan kita bahwa diabad ke-21 ini
masih saja ada institusi politik ekonomi yang tanpa malu menindas dan
memperlakukan rakyatnya seperti sapi perah.
G. Kongkalikong Penguasa dengan
Perusahaan Swasta
Dekade
1990-an menandai era reformasi di Mesir. Sejak kudeta militer menggulingkan
pemerintahan monarki pada tahun 1954, Mesir berubah menjadi negara semisosialis
yang pemerintahnya memainkan peranan sentral dalam perekonomian. Namun, lambat
laun retorika sosialisme menjadi usang, pasar mmenjadi lebih terbuka, dan
sektor swasta berkembang pesat. Tetapi pasar di Mesir bukanlah institusi
ekonomi inklusif, karena masih dikontrol oleh pemerintah dan sekelompok
pengusaha yang beraliansi dengan partai politik. Para pengusaha semakin
mendekatkan diri dnegan partai politik di bawah pemerintahan Presiden Hosni
Mubarok. Banyak tokoh pengusaha besar yang diangkat menduduki pos-pos penting
pemerintahan yang terkait dengan bidang bisnis mereka. Ada yang menjadi menteri
perdagangan luar negeri dan perindustrian, menteri pariwisata, menteri
pertanian, dan lain-lain.
Para
pengusaha-pengusaha besar juga meminta pemerintah untuk memproteksi mereka
dengan menyusun undang-undang yang menhambat masuknya pembisnis-pembisnis baru
dibidang media, besi dan baja, industri otomotif, minuman beralkohol, dan
semen. Hal ini sangat efektif untuk menghambat masuknya para pesaing potensial.
Pengusaha-pengusaha yang berkongkalikong dengan rezim penguasa bisa
mempengaruhi program privatisasi usaha dan aset-aset negara sehingga
menguntungkan para elit pengusaha kaya, yang oleh masyarakat Mesir disebut
“paus-paus” (mamalia).
Mesir
dewasa ini sudah menjadi negara miskin, memang tidak semiskin negara dikawasan
sub-Sahara Afrika, namun tetap tergolong melarat. Karena sekitar 40% rakyatnya
hidup di bawah garis kemiskinan dan hanya bisa mengais rezeki dibawah dua dolar
Amerika per hari. Sedangkan para elitnya bergelimang kemewahan berkat koneksi
politik yang dijalin dengan penyelenggara pemerintahan. Lagi-lagi institusi
ekonomi ekstraktif di Mesir bersimbiosis dengan institusi politik ekstraktif.
H. Sekali Lagi, Musabab Kegagalan
Negara
Negara
gagal membangun perekonomian karena ada
beberapa institusi kemasayarakatan yang ekstraktif. Institusi itulah
yang membuat negara miskin tetap miskin dan sulit mengentaskan rakyatnya dari
keterpurukan. Kondisi dan setting yang
melatarbelakangi negara-negara miskin di Afrika, Amerika Latin dan Mesir
sangatlah berbeda. Hanya satu hal yang membuat mereka sama, yakni kekuasaan
institusi ekstraktif. Pada semua kasus, basis atau motor utama penggerak
berbagai institusi ekstraktif tersebut adalah elite politik yang mendesain
institusi ekonomi ekstraktif untuk memperkaya diri dan melanggengkan
kekuasaannya dengan cara mengorbankan sebagian besar rakyat.
Kegagalan
ekonomi dan politik yang melanda negara-negara dunia dewasa ini hanya dapat
diatasi dengan mengubah semua institusi ekstraktif menjadi institusi yang lebih
terbuka dan prularis, alias inklusif. Keberadaan lingkaran setan memang
menyulitkan upaya ini, namun bukan berarti ini sesuatu yang mustahil. Hukum
besi oligarki bukannya tidak dapat dicegah atau dihindari. Institusi inklusif
yang ada di tengah-tengah masyarakat (sekecil apapun itu) dan koalisi besar dari
berbagai kalangan yang bersatu memerangi rezim ekstraktif, atau munculnya
peristiwa sejarah yang tidak terduga, bisa membuka peluang untuk memutuskan
lingkaran setan itu.
CONTOH
KASUS
Yaman
Keruntuhan Yaman
bermuara dari kombinasi persaingan internal antar elit, meningkatnya tuntutan
masyarakat yang didera kemiskinan, dan intervensi internasional, baik dari
institusi neo-liberal pemberi hutang maupun aktor politik dengan motivasi
mendukung faksi-faksi yang berkonflik. Perang saudara antara pendukung presiden
Abdu Rabbuh Mansur Hadi (yang pemerintahannya secara sah diakui dunia
internasional) didukung oleh koalisi yang dipimpin oleh Saudi, melawan gerakan
pemberontakan al Hutsi dan mantan presiden Ali Abdullah Saleh yang didukung
Iran telah menghancurkan negara tersebut.
Republik
Yaman berdiri pada tahun 1990 dengan bersatunya Republik Arab Yaman yang secara
politik berorientasi kepada kapitalisme, dan Republik Demokratik Rakyat Yaman,
satu-satunya negara Arab sosialis. Meskipun terdapat perbedaan pada sistem
negara, keduanya memiliki persamaan mendasar dalam budaya, struktur sosial, dan
ekonomi yang berbasis pertanian dan kelautan, sehingga membentuk sebuah bangsa.
Unifikasi dua negara merupakan slogan politis paling populer di kedua negara,
dan diterima secara luas oleh penduduknya. Masyarakat dan negara sangat
bergantung kepada uang kiriman para pekerja yang bekerja di negara lain,
terutama negara-negara teluk.
Dua dekade awal Republik Yaman mengalami
serangkaian krisis ekonomi. Lebih dari 800.000 tenaga kerja Yaman dideportasi
dari negara-negara GCC ketika Yaman memprotes resolusi 678 Dewan Keamanan PBB
untuk menyetujui aksi militer melawan Irak yang menginvasi Kuwait. Hal ini
menyebabkan bantuan ekonomi dari luar negeri berkurang sangat drastis (hampir
tidak ada), dan meningkatnya jumlah pengangguran mencapai hampir 1 juta pencari
kerja. Meskipun krisis mereda pada 1995 dan bantuan internasional dilanjutkan,
perlu dicatat bahwa kiriman uang dari para pekerja Yaman di luar negeri masih
sangat penting bagi perekonomian Yaman dibanding dengan bantuan asing. Terlebih
uang para pekerja di luar negeri dikirimkan langsung kepada keluarga mereka di
pedesaan, sedangkan bantuan ekonomi harus melewati berbagai lembaga negara.
Faktor lain seperti perubahan iklim, pertumbuhan populasi yang cepat, dan
korupsi para elit politik meningkatkan taraf kemiskinan dan jurang antara
mayoritas penduduk dengan sekelompok kecil mereka yang mendapatkan keuntungan
dari rezim presiden Saleh.
Ketegangan
politik yang berkembang di tataran pemerintah, munculnya gerakan pemberontakan
bersenjata al Hutsi, dan meningkatnya gerakan separatis di selatan yang
direspon secara agresif oleh pemerintah
turut berperan dalam memperparah krisis di Yaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar