Sabtu, 27 Februari 2021

 

BAB XIII

BIANG KEGAGALAN NEGARA

PADA ZAMAN SEKARANG

 

A.    Undian Akal-akalan di Zimbabwe

Undian akal-akalan yang diadakan oleh Zimbabwe Banking Operation (Zimbank) dimana sebagian sahamnya dimiliki oleh pemerintah yang kemudian memenangkan Robert Mugabepada tahun 2000 senilai Z$100.000 hanyalah sebagian kecil dari bobrok dan korupnya rezim tersebut. Robert Mugabe merupakan seorang Presiden yang memerintah Zimbabwe dengan gaya kepemimpinan yang keji dan otoriter sejak tahun 1980. Padahal disisi lain dia telah menaikkan gajinya sendiri beserta para menteri dikabinetnya sebanyak dua kali lipat. Kenyataan bahwa Mugabe dapat merekayasa undian berhadiah di Zimbank menunjujkkan betapa besar kekuasaannya dalam berbagai urusan di dalam negeri.

Salah satu faktor umum yang menyebabkan kegagalan sejumlah negara ialah karena mereka memiliki institusi politik-ekonomi yang berciri ekstraktif. Akar dari timbulnya berbagai institusi ekstraktif di Zimbabwe tidak lain adalah karena adanya pengaruh dari pemerintahan kolonial yang membekas kemudian diikuti dan diperparah oleh penguasa-penguasa setelahnya.

Negara Zimbabwe dibawah kekuasaan Mugabe mengambarkan kondisi sosial-ekonomi yang harus ditanggung negara sebagai akibat dari maraknya institusi ekstraktif. Hal ini mengakibatkan merosotnya pendapatan perkapita rakyat Zimbabwe pada tahun 2008 sebesar 50%  dari pendapatan perkapita mereka pada awal kemerdekaan tahun 1980. Pemerintahpun mulai kolaps dan tidak lagi mampu menyelenggarakan layanan publik. Selama periode 2008-2009, karena buruknya pelayanan kesehatan sebanyak 4.293 masyarakat Zimbabwe menjadi korban dari wabah kolera yang sedang beredar di seluruh negeri. Pada saat yang bersamaan angka pengangguran juga melonjak tinggi hingga mencapai 94%.

Institusi politik ekstraktif melindungi institusi ekstraktif dengan mengukuhkan kekuasaan berbagai pihak yang diuntungkan oleh situasi ini. Meskipun ragamnya bervariasi, institusi politik-ekonomi ekstraktif selalu menjadi penyebab utama kegagalan suatu negara. Pada beberapa kasus, misalnya di Argentina, Kolombia dan Mesir kegagalan negara ini terlihat dari lemahnya aktivitas perekonomian, karena para politisi yang rakus sangat gemar menggarong kekayaan negara dan rakyat, serta menyabotase segala bentuk aktivitas ekonomi independent yang bisa mengancam kekuasaan para elite. Adapun dampak yang terjadi akibat hal ini ialah stagnasi ekonomi, perang saudara, kemelaratan, tingginya angka pengangguran, hingga menyebarnya berbagai wabah penyakit akibat dari rendah simtem pelayanan publik terkhusus dibidang kesehatan.

 

B.     Kisah Pilu Anak-anak Sierra Leone

Sierra Leone yang saat itu dipimpin oleh Siaka Stevens yang mengusung partai APC (All People’s Congress) kondisinya tidak jauh berbeda dengan Zimbabwe, baik keadaan ekonomi maupun politiknya. Setelah Siaka Stevens mengidap penyakit kanker yang cukup parah, dia menutus Joseph Momoh untuk menggantikan posisinya. Namun Joseph Momoh juga memakan harta negara dan rakyat dengan sangat rakus pula. Akibatnya, fasilitas publik seperti jalan raya dan gedung-gedung sekolah rusak berat. Para menterinya juga ikut menjual sarana publik, seperti alat pemancar telivisi sehingga stasiun televisi nasional tidak lagi beroperasi. Lagi-lagi kehancuran pemerintahan ini tidak lain merupakan dampak dari lingkaran setan yang dipicu oleh berbagai institusi ekstraktif dari masa pemerintahan Siaka Stevens .

Dikubuh lain ada sekelompok orang bersenjata yang dipimpin oleh Foday Sankoh dan dibantu oleh Charles Taylor yang berasal dari Liberia. Dalam menginvasi Sierra Leone, Sankoh mendapat banyak bantuan pasukan dari anggota Taylor. Mereka ini tergabung dalam kelompok RUF (Revolutionary United Front) yang bertekad untuk menggulingkan pemerintahan APC yang keji dan korup.

Revolusi ini dipandang dan disambut positif oleh masyarakat Sierra Leone karena kepedihan serta penderitaan yang mereka alami telah membuat hidup mereka sangat sengsara. Namun tak lama kemudian situasi mulai berubah dengan cepat dan tak terkendali, itikad baik dari RUF justru kembali menjerumuskan negeri Sierra Leone ke dalam situasi yang sangat parah. Mereka menghabisi tokoh-tokoh intelektual serta mengeksekusi orang-orang yang menentang tindak kekerasan yang mereka lakukan.

Pada awalnya orang-orang bergabung secara sukarela dengan RUF. Namun tidak lama setelah itu mereka merekrut anggota baru dengan cara paksa, bahkan mereka juga menangkap anak-anak kecil untuk dijadikan pasukannya dan ini bukanlah hal yang baru di Sierra Leone. Semua pihak bahkan militer sekalipun pernah melakukan hal tersebut. Perang saudara yang mulanya dipandang sebagai perjuangan untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik, pada akhirnya menjadi perang yang melibatkan anak-anak. Mereka juga tidak hanya menyekap dan memeras rakyat sipil namun juga membantai masyarakat biasa, melakukan pelanggaran HAM berat, melakukan pemerkosaan masal hingga memotong tangan atau telinga korban yang tidak berdosa.

Sierra Leone sungguh merupakan negara yang sangat menyedihkan dan kacau tanpa tatanan hukum. Tidak hanya kelompok RUF yang melakukan kekerasan, pembunuhan masal dan kerja paksa, namun pemerintah juga melakukan hal yang demikian. Rakyat sampai tidak dapat membedakan mana militer negara dan mana pemberontak. Menjelang berakhirnya perang saudara pada tahun 2001, diperkirakan delapan puluh ribu rakyat tak berdosa mati sia-sia, dan negara tersebebut hancur tinggal puing. Jalan raya, rumah, dan semua bangunan hancur rata dengan tanah.

Penindasan akan menyulut konflik, tidak jauh berbeda dengan konflik-konflik yang terjadi disejumlah institusi superekstraktif dari peradaban Maya seribu tahun silam. Konflik juga menjadi cikal bakal gagalnya suatu negara. Dan lagi-lagi ini juga disebabkan oleh berkuasanya institusi poliik-ekonomi yang merajalela selama berpuluh-puluh tahun.

 

C.    Jadi, Siapakah Pemerintah itu?

Dalam lima dekade terakhir, para pengamat politik dan pemerintahan menilai Kolombia sebagai negara yang demokratis. Kolombia juga sempat mengadakan pemilu secara rutin. Namun walaupun demikian, ternyata negara ini tidak memiliki institusi yang inklusif. Sejarah bangsa ini dikotori oleh berbagai tindak penindasan dan pelanggaran kemerdekaan warga, eksekusi tanpa proses hukum, berbagai aksi kekerasan dan serangkaian perang saudara.

Merebaknya perang saudara ini mengakibatkan munculnya sejumlah kelompok pemberontak yang sebagian besar merupakan kaum revolusioner komunis. Kelompok-kelompok tersebut menebar teror penculikan dan pembunuhan. Jika mereka ingin selamat dari teror tersebut maka mereka harus membayar uang vaksin atau uang keamanan setiap bulannya.

Namun tidak semua gerombolan bersenjata ini adalah komunis. Jika gerombolan komunis ini adalah sayap kiri, maka muncullah gerombolan sayap kanan untuk memberantas mereka. Gerombolan ini dipelopori oleh tiga bersaudara yang ayahnya diculik kemudian dibunuh oleh gerombolan sayap kiri. Karena banyaknya rakyat yang senasib dengan mereka, menyebabkan gerombolan ini berkembang dengan sangat pesat hingga berhasil membentuk organisasi nasional. Mereka tidak hanya menumpas para komunis namun juga memeras. Menculik dan membunuh warga sipil.

Organisasi ini berkembang dan menjalar ke seluruh pelosok negeri. Karena kekuatan dan pengaruhnya semakin berkembang, mereka mengambil langkah strategis dengan terjun ke panggug politik. Mereka melakukan berbagai kecurangan dan kekerasan untuk memenangkan partai yang sepemahaman serta mendukung mereka. Mereka juga mengambil alih pemerintahan dan beberapa fungsinya, namun pajak yang mereka ambil dari masyarakat bukanlah pajak yang wajar namun lebih tepatnya adalah sebuah pemerasan. Tidak hanya memerangi dan memberantas para komunis, namun mereka juga merampok harta negara dan rakyat baik di kota maupun di desa.

Kolombia bukanlah contoh negara gagal yang akan segera hancur. Hanya saja negara ini tidak memiliki sentralisasi pemerintahan dan tidak mampu menjaga kedaulatan wilayahnya. Rasa aman dan berbagai kenyamanan pelayana publik hanya dirasakan di kota-kota besar, tidak dengan wilayah-wilayah lain yang terpencil dan terbelakang. Institusi ekonomi di beberapa bagian negara ini berfungsi dengan cukup baik, terdapat SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan berwirausaha. Namun institusi ekonomi ekstraktif masih sangat dominan di negara ini.

Ketidakpastian hukum dan lemahnya perlindungan terhadap kekayaan rakyat masih menjadi masalah yang paling sering ditemui di Kolombia. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kontrol pemerintah pusat terhadap kedaulatan wilayahnya serta rendahnya sentralisasi pemerintah. Semua ini terjadi sebagai cerminan dari sebuah dinamika yang menunjukkan adanya lingkaran setan, institusi politik tidak mendorong politisi untuk berjuang demi menjamin pelayanan publik, penegakan hukum, serta ketertiban disebagian besar wilayah kedaulatan rakyat. Terlebih lagi institusi politik tidak pernah menghalangi atau mencegah kongkalikong yamg terjadi antara politisi dengan kelompok sayap kanan (paramiliter) dan berbagai kelompok preman lainnya.

 

D.    Skandal El Corralito di Argentina

Argentina tengah dicekam krisis ekonomi pada pengujung tahun 2001. Dalam kurun waktu tiga tahun, pendapatan negara turun drastis sedangkan angka pengangguran melonjak luar biasa serta terbelit utang luar negeri dalam jumlah masif. Sejak tahun 1989 pemerintahan Presiden Carlos Menem sudah mengupayakan berbagai kebijakan untuk mengatasi permasalahan inflasi dan menstabilkan perekonomian, namun solusinya hanya bersifat sementara dan terkesan tambal sulam.

Presiden Medem menerapkan rezim kurs tetap yang mematok kurs satu peso Argentina sama dengan satu dolar Amerika. Menurut Medem, dengan tidak adanya fluktuasi nilai tukar mata uang Argentina maka masalah selesai. Pemerintah bahkan mendorong rakyatnya untuk menabung uang dolar di Bank serta memperbolehkan mata uang dolar dijadikan alat pembayaran di toko-toko besar di ibu kota Buenos Aires. Selain itu penduduk juga bisa menarik dolar dari mesin-mesin ATM yang tersebar di kota tersebut.

Kebijakan tersebut ternyata tidak sepenuhnya dapat mengatasi masalah yang ada, justru malah memiliki kelemahan yang sangat besar dan sama sekali tidak dapat menstabilkan perekonomian. Kelemahan tersebut mengakibatkan harga komoditas ekspor Argentina menjadi sangat mahal, sedangkan harga-harga barang impor menjadi sangat terjangkau. Hal ini mengakibatkan tesemdatnya aktivitas ekspor Argentina, sedangkan barang-barang impor membanjiri pasar dalam negeri, dan satu-satunya cara untuk membelinya adalah dengan mengutang.

                        Melihat situasi yang terjadi rakyat berbondong-bondong menyimban uangnya

dalam bentuk dolar di bank. Hal ini didasari oleh kecemasan mereka terhadap stabilitas nilai tukar peso, karena ketika pemerintah mendevaluasi peso maka tabungan dolar mereka akan tetap aman. Namun pada saat itu pemerintah membekukan semua rekening bank untuk jangka aktu sembilan puluh hari dan penarikan tabungan dibatasi jumlahnya serta hanya boloh sekali dalam sepekan. Jumlah uang yang boleh ditarik nasabah hanya sebesar 300 peso yang saat itu setara dengan US$300. Dan ternyata yang diizinkan untuk menarik tabungan hanya nasabah yang menabung dalam rekening peso. Sedangkan mereka yang menabung dalam bentuk dolar tidak diizinkan, kecuali mereka bersedia untuk menukarnya dengan peso.

            Masyarakat Argentina menyebut situasi itu dengan El Corralito, yang artinya kurang lebih pagar atau kurungan berpagar besi. Para deposan dan penabung di bank bagaikan digiring ke kandang-kandang sempit seperti kawanan sapi, dan tidak bisa bergerak sama sekali. Pada bulan Januari pemerintah resmi mendevaluasi mata uang peso, nilai kurs peso diturunkan dari satu peso untuk satu dolar, menjadi empat peso untuk satu dolar. Namun pemerintah secara sepihak mengkonversi semua rekening dolar milik rakyatnya mejadi peso dengan memberlakukan kurs lama satu dolar untuk satu peso. Tiga per empat dari tabungan mereka digangsir oleh pemerintahnya sendiri.

            Argentina pada kala itu menganut rezim demokratis, akan tetapi sistem politik di negara itu tidaklah inklusif. Institusi-instiusi ekstraktif pun sangat banyak ditemui dimana-mana. Begitu juga juga politik yang tidak sehat, praktik korupsi, pemaksaan, penindasan hingga pembunuhan bukan lagi hal yang tabuh negara tersebut.

            Demokrasi yang tumbuh di Amerika Latin secara prinsip bersebrangan dengan hegemoni elite politik dan dalam retorika serta aksi-aksinya selalu berjuang mengikis hak istimewanya para elite, serta menciptakan pemerataan kesempatan. Namun, institusi ekonomi dan politiknya berakar pada rezim ekstraktif dan kondisi ini dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, kesenjangan dan ketidakadilan yang berlangsung selama berabad-abad di bawah cengkraman rezim ekstraktif memaksa para pemilih di era demokrasi untuk mendukung para politis yang menawarkan beragam kebujakan yang bersifat ekstrim. Kedua, lagi-lagi institusi ekstrkatif menyediakan panggung politik gemerlap memesona sekaligus dipenuhi bias yang menguntungkan orang-orang kuat.

 

E.     Absolutisme Gaya Baru

Pada tahun 2009 pemerintah Korea Utara memberlakukan kebijakan reformasi mata uang, yang disebabkan oleh tingkat inflasi mata uang yang tidak terkendali. Pemerintah Korea Utara menhapus dua angka nol dari mata uang mereka, seratus won uang lama dihargai satu won uang baru. Semua warga negara diperintahkan menukar mata uang lama mereka dengan mata uang baru dalam jangka waktu yang sangat singkat, yakni dalam satu minggu. Rakyat juga dilarang menukar uang mereka lebih dari 500.000 won. Uang seratus ribu won dihargai $40 di pasar gelap. Cukup dengan satu gebrakan, pemerintah Korea Utara berhasil memangkas kekayaan rakyat dalam jumlah yang sangat besar.

Untuk memahami kondisi disejumlah negara termiskin dunia diakhir abad ke-20 kita harus memahami paham absolutisme gaya baru, yakni komunis. Karl Marx mencita-citakan sebuah sistem politik yang dapat menciptakan kemakmuran dalam kondisi yang lebih manusiawa, tanpa adanya kesenjangan atau ketidakadilan. Lenin dan partai komunis sangat terinspirasi oleh visi Marx, namun antara teori dan praktiknya sangat bertolak belakang. Revolusi Bolshevik yang berkobar pada tahun 1917 ternyata sangat berdarah-darah dan sama sekali tidak manusiawi. Prinsip kesetaraan yang didengung-dengungkan ternyata hanyalah omongan belaka sebab Lenin dan para pengikutnya malah menjelma menjadi kelompok elite yang menempati hierarki tertinggi dalam partai Bolshevik.

Sistem komunis pada awalnya memang bisa merangsang angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun lambat laun merosot dan mandek sama sekali. Dampak terparah yang dipicu oleh kegagalan ekonomi komunis pernah dialami oleh rakyat China di bawah kepemimpinan Mao, di Kamboja di bawah cengkraman rezim Khmer Merah, dan juga di Korea Utara yang perekonomiannya kolaps dan menyebabkan ribuan rakyat mai kelaparan.

Institusi ekonomi komunis didukung oleh politik ekstraktif yang meletakkan semua kekuasaan politik di tangan para elite partai, tanpa adanya mekanisme kontrol atas penggunaan kekuasaan.

 

F.     Hikayat Islam Karimov di Raja Kapas

Hampir 45 persen penerimaan pemerintah Uzbekistan berasal dari hasil ekspor kapas, dan itulah sebabnya kenapa komoditas tersebut dianggap sebagai produk pertanian terpenting sejak negara tersebut merdeka setelah melepaskan diri dari Uni Soviet pada tahun 1991. Sebelum merdeka semua lahan pertanian mereka dikuasai oleh rezim Uni Soviet dan setelah merdeka lahan pertanian tersebut didistribusikan kepada warga. Namun bukan berarti mereka dapat mengelolah tanah tersebut dengan bebas, Islam Karimov selaku presiden pertama sekaligus penguasa tunggal membuat beberapa kebijakan yang harus dipatuhi oleh warga. Seperti tanaman apa saja yang boleh ditanam dan harga jualnya.

Pemerintah menerapkan taktik tanam paksa, dimana warga diwajibkan menanam kapas di 35 persen dari luas tanahnya. Namun harga kapas yang ditetapkan oleh pemerintah sangatlah rendah jika dibandingkan dengan tingginya harga ekspor kapas pada saat itu. Warga mulai merasa dirugikan dan tidak mau lagi merawat mesin pemanen kapas yang disediakan oleh Karimov. Namun aksi tersebut justru memperburuk keadaan dimasyarakat, Karimov mengggantikan tenaga mesin dengan tenaga murid-muri sekolah dasar dengan upah yang sangat rendah. Murid-murid tersebut tidak hanya bertugas memanen kapas, namun pada musim semi mereka juga ditugaskan untuk mencangkul, menyiangi pohon kapas, dan mencangkok bibit pohon kapas yang baru. Karimov bukannya mercendaskan anak bangsa tapi malah memperbudak mereka.

Di bawah rezim Karimov, Uzbekistan menjadi negara yang diterungku oleh berbagai institusi politik-ekonomi superekstratif dan menjadi negara yang sangat miskin. Diperkirakan sepertiga rakyatnya hidup dalam kemiskinan, dan rata-rata pendapan perkapita tahunan mereka $1.000.

Dalam banyak hal Uzbekistan terlihat seperti relik peninggalan zaman kuno yang terlupakan. Negara itu tak berdaya menghadapi absolutisme sebuah keluarga penguasa yang dikelilingi oleh kroni-kroni pendukungnya, dengan sistem perekonomian yang mengandalkan beragam praktik kerja paksa yang memeras keringat anak-anak harapan bangsa. Namun, Uzbekistan sebenarnya bukan relik dari masa lampau. Negara ini adalah salah satu kepingan mozaik dari bangsa-bangsa yang dicekam oleh institusi ekstraktif dan bernasib sama dengan beberapa negara eks Republik Sosialis Soviet seperti Armenia, Azerbaijan, Kirgiztan, Tajikistan, dan Turkmenistan, dan semua negara itu menyadarkan kita bahwa diabad ke-21 ini masih saja ada institusi politik ekonomi yang tanpa malu menindas dan memperlakukan rakyatnya seperti sapi perah.

 

G.    Kongkalikong Penguasa dengan Perusahaan Swasta

Dekade 1990-an menandai era reformasi di Mesir. Sejak kudeta militer menggulingkan pemerintahan monarki pada tahun 1954, Mesir berubah menjadi negara semisosialis yang pemerintahnya memainkan peranan sentral dalam perekonomian. Namun, lambat laun retorika sosialisme menjadi usang, pasar mmenjadi lebih terbuka, dan sektor swasta berkembang pesat. Tetapi pasar di Mesir bukanlah institusi ekonomi inklusif, karena masih dikontrol oleh pemerintah dan sekelompok pengusaha yang beraliansi dengan partai politik. Para pengusaha semakin mendekatkan diri dnegan partai politik di bawah pemerintahan Presiden Hosni Mubarok. Banyak tokoh pengusaha besar yang diangkat menduduki pos-pos penting pemerintahan yang terkait dengan bidang bisnis mereka. Ada yang menjadi menteri perdagangan luar negeri dan perindustrian, menteri pariwisata, menteri pertanian, dan lain-lain.

Para pengusaha-pengusaha besar juga meminta pemerintah untuk memproteksi mereka dengan menyusun undang-undang yang menhambat masuknya pembisnis-pembisnis baru dibidang media, besi dan baja, industri otomotif, minuman beralkohol, dan semen. Hal ini sangat efektif untuk menghambat masuknya para pesaing potensial. Pengusaha-pengusaha yang berkongkalikong dengan rezim penguasa bisa mempengaruhi program privatisasi usaha dan aset-aset negara sehingga menguntungkan para elit pengusaha kaya, yang oleh masyarakat Mesir disebut “paus-paus” (mamalia).

Mesir dewasa ini sudah menjadi negara miskin, memang tidak semiskin negara dikawasan sub-Sahara Afrika, namun tetap tergolong melarat. Karena sekitar 40% rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan dan hanya bisa mengais rezeki dibawah dua dolar Amerika per hari. Sedangkan para elitnya bergelimang kemewahan berkat koneksi politik yang dijalin dengan penyelenggara pemerintahan. Lagi-lagi institusi ekonomi ekstraktif di Mesir bersimbiosis dengan institusi politik ekstraktif.

 

H.    Sekali Lagi, Musabab Kegagalan Negara

Negara gagal membangun perekonomian karena ada  beberapa institusi kemasayarakatan yang ekstraktif. Institusi itulah yang membuat negara miskin tetap miskin dan sulit mengentaskan rakyatnya dari keterpurukan. Kondisi dan setting yang melatarbelakangi negara-negara miskin di Afrika, Amerika Latin dan Mesir sangatlah berbeda. Hanya satu hal yang membuat mereka sama, yakni kekuasaan institusi ekstraktif. Pada semua kasus, basis atau motor utama penggerak berbagai institusi ekstraktif tersebut adalah elite politik yang mendesain institusi ekonomi ekstraktif untuk memperkaya diri dan melanggengkan kekuasaannya dengan cara mengorbankan sebagian besar rakyat.

Kegagalan ekonomi dan politik yang melanda negara-negara dunia dewasa ini hanya dapat diatasi dengan mengubah semua institusi ekstraktif menjadi institusi yang lebih terbuka dan prularis, alias inklusif. Keberadaan lingkaran setan memang menyulitkan upaya ini, namun bukan berarti ini sesuatu yang mustahil. Hukum besi oligarki bukannya tidak dapat dicegah atau dihindari. Institusi inklusif yang ada di tengah-tengah masyarakat (sekecil apapun itu) dan koalisi besar dari berbagai kalangan yang bersatu memerangi rezim ekstraktif, atau munculnya peristiwa sejarah yang tidak terduga, bisa membuka peluang untuk memutuskan lingkaran setan itu.

 

 

 

 

 

 

CONTOH KASUS

 

Yaman

            Keruntuhan Yaman bermuara dari kombinasi persaingan internal antar elit, meningkatnya tuntutan masyarakat yang didera kemiskinan, dan intervensi internasional, baik dari institusi neo-liberal pemberi hutang maupun aktor politik dengan motivasi mendukung faksi-faksi yang berkonflik. Perang saudara antara pendukung presiden Abdu Rabbuh Mansur Hadi (yang pemerintahannya secara sah diakui dunia internasional) didukung oleh koalisi yang dipimpin oleh Saudi, melawan gerakan pemberontakan al Hutsi dan mantan presiden Ali Abdullah Saleh yang didukung Iran telah menghancurkan negara tersebut.

            Republik Yaman berdiri pada tahun 1990 dengan bersatunya Republik Arab Yaman yang secara politik berorientasi kepada kapitalisme, dan Republik Demokratik Rakyat Yaman, satu-satunya negara Arab sosialis. Meskipun terdapat perbedaan pada sistem negara, keduanya memiliki persamaan mendasar dalam budaya, struktur sosial, dan ekonomi yang berbasis pertanian dan kelautan, sehingga membentuk sebuah bangsa. Unifikasi dua negara merupakan slogan politis paling populer di kedua negara, dan diterima secara luas oleh penduduknya. Masyarakat dan negara sangat bergantung kepada uang kiriman para pekerja yang bekerja di negara lain, terutama negara-negara teluk.

             Dua dekade awal Republik Yaman mengalami serangkaian krisis ekonomi. Lebih dari 800.000 tenaga kerja Yaman dideportasi dari negara-negara GCC ketika Yaman memprotes resolusi 678 Dewan Keamanan PBB untuk menyetujui aksi militer melawan Irak yang menginvasi Kuwait. Hal ini menyebabkan bantuan ekonomi dari luar negeri berkurang sangat drastis (hampir tidak ada), dan meningkatnya jumlah pengangguran mencapai hampir 1 juta pencari kerja. Meskipun krisis mereda pada 1995 dan bantuan internasional dilanjutkan, perlu dicatat bahwa kiriman uang dari para pekerja Yaman di luar negeri masih sangat penting bagi perekonomian Yaman dibanding dengan bantuan asing. Terlebih uang para pekerja di luar negeri dikirimkan langsung kepada keluarga mereka di pedesaan, sedangkan bantuan ekonomi harus melewati berbagai lembaga negara. Faktor lain seperti perubahan iklim, pertumbuhan populasi yang cepat, dan korupsi para elit politik meningkatkan taraf kemiskinan dan jurang antara mayoritas penduduk dengan sekelompok kecil mereka yang mendapatkan keuntungan dari rezim presiden Saleh.

            Ketegangan politik yang berkembang di tataran pemerintah, munculnya gerakan pemberontakan bersenjata al Hutsi, dan meningkatnya gerakan separatis di selatan yang direspon secara agresif oleh pemerintah  turut berperan dalam memperparah krisis di Yaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar