A.
Sejarah
Inflasi dalam Perspektif Konvensional dan Islam
1. Kerajaan
Byzantium berusaha keras untuk mengumpulkan emas dengan melakukan ekspor
komoditasnya sebanyak mungkin ke negara-negara lain dan mencegah impor agar
dapat mengumpulkan emas sebanyak-banyaknya. Kemudian yang terjadi adalah
kenaikan tingkat harga komoditasnya sendiri.
2. Awal
inflasi mata uang dinar dimulai bahkan ketika Irak sedang berada dalam puncak
kejayaannya.
3. Revolusi
harga di Eropa terjadi sepanjang abad, pola kenaikan tingkat harga pertama kali
tampak di Italia dan Jerman sekitar tahun 1470. Inflasi kemudian menyerang ke
negara-negara Eropa lainnya dalam beberapa tahapan.
4. Pada
tahun 1870, Prancis juga mengalami inflasi. Diduga ada hubungan besar antara
kenaikan tingkat inflasi dengan kenaikan produksi emas. Menurut Michael
Chevalier (seorang ekonom Prancis pada abad ke-19), pada tahun 1859 mengatakan
bahwa pertambahan penawaran emas akibat ditemukannya tambang-tambang emas baru
sehingga mengakibatkan turunnya harga emas relatif yang akan membawa pada
turunnya nilai riil emas (inflasi) atau naiknya tingkat harga seluruh barang
kecuali emas.[1]
B.
Teori
Inflasi Konvensional
Secara umum inflasi adalaah kenaikan tingkat harga
secara umum dari barang atau komoditas dan jasa selama suatu priode tertentu.
Menurut Raharja dan Manurung inflasi adalah gejala kenaikan harga barng-barang
yang bersifat umum dan terus menerus. Sedangkan menurut Sukirno inflasi adalah
kenaikan dalam harga barang dan jasa yang terjadi karena permintaan bertambah
lebih besar dibandingkan dengan penawaran barang di pasar.[2]
Kenaikan harga dari satu atau dua barang tidak dapat disebut
inflasi,
kecuali
bila kenaikan tersebut meluas atau mengakibatkan kenaikan kepada barang
lainnya.
Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang dialami oleh hampir semua
negara
di dunia. Dampak inflasi antara lain: menimbulkan gangguan fungsi uang,
melemahkan
semangat menabung, meningkatkan kecenderungan untuk belanja,
pengerukan
tabungan dan penumpukan uang, permainan harga diatas standar,
kemampuan,
penumpukan kekayaan dan investasi non produktif, serta distribusi
barang
relatif tidak stabil dan terkonsentrasi.[3]
Keynes mengungkapkan bahwa kuantitas uang tidak berpengaruh
terhadap
permintaan
total karena inflasi dapat terjadi jika tingkat kuantitas uang konstan.
Saat
jumlah uang beredar meningkat maka permintaan uang untuk bertransaksi
meningkat,
dengan demikian akan menaikan suku bunga. Menurut Keynes inflasi terjadi karena
masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuannya, sehingga terjadi
perubahan
pendapatan diantara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.[4]
Terdapat tiga komponen yang harus
dipenuhi dalam proses inflasi: pertama
ada sebuah kecenderungan kenaikan harga-harga, walaupun pada waktu
tertentu
terjadi penurunan atau kenaikan dibanding dengan sebelumnya,
tetapi tetap
menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Kedua kenaikan
harga yang terjadi
bersifat umum yang berarti peningkatan harga tidak dialami oleh
satu atau beberapa
komoditas saja. Ketiga peningkatan harga yang berlangsung
terus menerus yang
berarti tidak hanya terjadi pada satu waktu saja.[5]Inflasi
dapat disebabkan oleh
terlalu kuatnya peningkatan agregat permintaan masyarakat atas
komoditi-komoditi hasil produksi di pasar (Demand Pull Inflation) misalnya
karena terlalu
banyaknya jumlah uang yang beredar, ataupun menurunnya agregat
penawaran
dikarenakan meningkatnya biaya produksi (Cost Pull Inflation).
Menurut Sukirno penyebab dari terjadinya inflasi
dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Inflasi
tarikan permintaan, inflasi ini biasanya terjadi ketika perekonomian berkembang
pesat.
2. Inflasi
desakan biaya, inflasi ini juga terjadi ketika perekonomian sedang berkembang
pesat dan tingkat pengangguran sangat rendah.
3. Inflasi
diimpor, inflasi ini terjadi apabila barang-barang yang diimpor mengalami
kenaikan harga yang mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan
pengeluaran-pengeluaran di perusahaan.[6]
Ekonomi aliran Keynesian yakin bahwa
inflasi bisa terjadi terlepas dari pengaruh kondisi moneter. Ekonom lain lebih menitikberatkan
pada faktor-faktor institusional, seperti suku bunga ditentukan oleh para
politisi atau oleh bank sentral yang independen dan apakah bank sentral
menentukan suatu target inflasi. Pada masa kini nilai instrinsik uang lebih
rendah daripada nilai nominalnya, hal ini menjadi salah satu penyebab inflasi.[7]
[1] Naf’an,Ekonomi Makro;Tinjauan Ekonomi Syariah,(Yogyakarta: Graha Ilmu,2014), h. 108
[2] Ibid, h.109
[3]Boediono, Ekonomi Moneter, (Yogyakarta: BPFE, 2014), hlm. 162
[4]Gregory N. Mankiw, Makroekonomi, Edisi 6. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 87
[5]Rahardja, P. dan
Manurung, M., Teori Ekonomi Makro: Suatu Pengantar, (Jakarta:
Lembaga
Penerbit FE UI, 2008), h. 46
[6]Sadono Sukirno, Makro
Ekonmi Teori Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008),
h. 333
[7] Opcit,Naf’an,h.110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar